JAKARTA, inca-construction.co.id – Di sudut kota Surabaya, sebuah taman kecil berubah drastis setelah revitalisasi. Dahulu sepi dan gersang, kini ramai dengan anak-anak bermain, lansia berjalan santai, dan pedagang lokal membuka lapak dengan wajah cerah. Apa yang mengubahnya? Jawabannya: placemaking.
Placemaking bukan hanya membangun taman atau mempercantik trotoar. Ini tentang menciptakan ruang yang bernyawa, relevan dengan warganya, dan mampu menumbuhkan keterhubungan sosial. Ia menggabungkan arsitektur, psikologi ruang, keterlibatan komunitas, hingga pendekatan sosiokultural.
Konsep ini bukan sekadar tren, tapi pendekatan strategis dalam arsitektur urban masa kini.
Apa itu placemaking dan mengapa semakin dibutuhkan?

Secara sederhana, placemaking adalah proses merancang dan mengelola ruang publik dengan fokus pada kenyamanan, identitas lokal, dan fungsi sosial. Tidak hanya soal estetika, tapi bagaimana ruang tersebut bisa menjadi tempat yang bermakna bagi penggunanya.
Placemaking didasari pada prinsip bahwa masyarakat harus menjadi bagian dari proses perancangan kota. Sebuah taman tidak akan berarti jika hanya bagus secara visual tapi tak punya fungsi nyata bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam konteks Indonesia—di mana ruang publik seringkali terbatas atau tak optimal—placemaking menjadi solusi nyata untuk mengaktifkan ruang-ruang kota yang selama ini terbengkalai.
Elemen utama dalam konsep placemaking
Placemaking bukan tentang membangun dari nol, tapi menghidupkan potensi ruang yang ada. Berikut elemen-elemen yang umum ditemukan dalam pendekatan ini:
-
Ruang inklusif: Siapa pun merasa diterima—baik anak-anak, orang tua, difabel, hingga komunitas lokal.
-
Koneksi sosial: Mendorong interaksi antarwarga melalui desain bangku, jalur pedestrian, area terbuka.
-
Konteks lokal: Desain yang mencerminkan budaya, sejarah, atau kearifan lokal suatu wilayah.
-
Fleksibilitas fungsi: Area bisa digunakan untuk berbagai aktivitas—dari olahraga pagi, bazar UMKM, hingga pertunjukan seni.
-
Keterlibatan warga: Proses desain melibatkan suara masyarakat agar hasilnya benar-benar relevan.
Dalam praktiknya, placemaking bisa sederhana seperti mengecat mural oleh seniman lokal, atau kompleks seperti menata ulang kawasan kumuh jadi ruang terbuka aktif.
Manfaatplacemaking dalam desain arsitektur kota
Pendekatan placemaking memberi dampak multidimensi. Berikut manfaat nyatanya terhadap lingkungan fisik dan sosial:
-
Meningkatkan kualitas hidup warga melalui akses ke ruang hijau dan tempat interaksi.
-
Meningkatkan nilai properti dan daya tarik ekonomi di sekitarnya.
-
Mengurangi kriminalitas dengan membuat ruang lebih terang, aktif, dan terpantau.
-
Mendorong gaya hidup sehat, seperti berjalan kaki atau bersepeda di jalur yang aman dan nyaman.
-
Memperkuat identitas kawasan, karena desainnya mencerminkan jiwa komunitas lokal.
Studi dari Project for Public Spaces menyatakan bahwa ruang publik yang berhasil secara placemaking dapat meningkatkan aktivitas lokal hingga 60% dan memperkuat kohesi sosial antarwarga.
Contoh nyata placemaking di Indonesia
Beberapa kota di Indonesia mulai menerapkan prinsip placemaking, meski belum selalu menggunakan istilah ini secara eksplisit:
-
Taman Film Bandung: Diubah dari kolong jembatan menjadi ruang komunitas nonton film dan diskusi terbuka.
-
Taman Tebet Eco Park Jakarta: Menggabungkan edukasi lingkungan, jalur hijau, dan area bermain anak yang dirancang partisipatif.
-
Kampung Code Yogyakarta: Revitalisasi kawasan bantaran sungai dengan sentuhan warna dan penataan arsitektural yang kolaboratif.
-
Alun-Alun Kidul Yogyakarta: Memadukan ruang publik, kearifan lokal, dan aktivitas warga secara organik tanpa banyak intervensi formal.
Proyek-proyek ini menunjukkan bahwa placemaking tidak harus mahal. Dengan pendekatan partisipatif, ruang bisa dihidupkan dari hal-hal kecil.
Peran arsitek dalam menerapkanplacemaking
Placemaking bukan semata tugas pemerintah atau pengembang. Arsitek memegang peran sentral sebagai fasilitator ide, penerjemah aspirasi masyarakat ke dalam desain yang kontekstual.
Dalam praktiknya, arsitek perlu:
-
Melakukan observasi langsung di lokasi dan memahami pola aktivitas warga.
-
Melibatkan warga sejak tahap awal: wawancara, diskusi kelompok, hingga co-design workshop.
-
Merancang dengan prinsip inklusif dan adaptif: ruang yang fleksibel terhadap perubahan.
-
Menerapkan pendekatan low-cost high-impact: solusi yang tidak mewah, tapi fungsional dan berdampak nyata.
Arsitek yang mampu mendesain dengan prinsip placemaking bukan hanya membangun bangunan, tapi membentuk komunitas.
Tantangan dalam implementasi placemaking
Meski potensial, pendekatan ini tidak bebas tantangan:
-
Keterbatasan anggaran pemerintah daerah
-
Kurangnya pemahaman atau dukungan dari birokrasi
-
Minimnya keterlibatan masyarakat karena kurangnya edukasi
-
Desain yang terlalu formal dan tidak adaptif terhadap aktivitas lokal
-
Risiko gentrifikasi jika ruang publik terlalu komersial dan mengusir warga asli
Solusinya? Edukasi, kolaborasi lintas sektor, dan keberanian untuk mendobrak pola lama yang kaku.
Masa depan placemaking di tengah urbanisasi
Dengan semakin padatnya kota dan minimnya ruang hijau, konsep placemaking punya peran besar dalam membangun kota yang manusiawi dan resilien. Teknologi, data spasial, dan pendekatan desain kolaboratif akan menjadi penopang keberhasilan ke depan.
Placemaking juga bisa menjadi alat pemulihan pasca-pandemi—menyediakan ruang aman untuk berkumpul, bersosialisasi, dan beraktivitas luar ruang tanpa harus pergi jauh.
Di masa depan, kota yang unggul bukan yang penuh gedung tinggi, tapi yang punya banyak ruang publik yang “bernyawa”.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Arsitektur
Baca juga artikel lainnya: Fungsi Bangunan dalam arsitektur dan desain modern
