Bangunan Terapung

Saya masih inget, waktu itu nonton dokumenter tentang kota-kota yang terancam tenggelam karena naiknya permukaan laut. Salah satunya Jakarta. Nggak lama, saya lihat liputan tentang bangunan terapung di Belanda yang katanya jadi jawaban buat krisis iklim global. Saya langsung mikir: ini beneran bisa dipakai di Indonesia?

Awalnya saya skeptis. Tapi makin saya cari tahu, makin masuk akal. Karena kenyataannya, krisis iklim bukan wacana doang. Kita udah lihat dampaknya sekarang: banjir makin sering, cuaca makin ekstrem, dan pesisir makin terkikis.

Jadi saya mulai belajar lebih dalam soal konsep floating buildings ini. Dan ternyata bukan cuma rumah kecil di atas tong plastik. Ini serius. Arsitek, insinyur, bahkan pemerintah mulai masuk ke tren ini sebagai respon jangka panjang terhadap perubahan iklim.

Apa Itu Bangunan Terapung?

Bangunan Terapung

Bangunan terapung (atau floating architecture) adalah struktur yang dibangun di atas permukaan air dan dapat tetap stabil, aman, serta berfungsi layaknya bangunan di daratan. Bisa berupa rumah, kantor, restoran, hingga sekolah.

Strukturnya biasanya mengandalkan:

  • Pontoon (bentuk rakit): rangka ringan tapi kokoh, biasanya dari beton berongga atau bahan komposit

  • Anchoring system: sistem penambat agar tidak terbawa arus

  • Utilitas fleksibel: pipa air, listrik, dan saluran limbah yang dirancang khusus agar tetap aman

Yang bikin saya kagum, ternyata konsep ini udah berkembang jauh. Di Belanda misalnya, mereka punya distrik perumahan terapung bernama Schoonschip, lengkap dengan taman dan infrastruktur air bersih.

Kenapa Ini Relevan untuk Indonesia?

Buat negara kepulauan seperti Indonesia, bangunan terapung bukan sekadar ide keren, tapi bisa jadi penyelamat. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada ribuan pulau kecil yang rentan tenggelam dalam 20–30 tahun ke depan.

Saya pernah ngobrol dengan seorang aktivis lingkungan di Jakarta Utara, dan dia bilang banyak warga pesisir yang udah mikir “tinggal pindah” karena rumahnya sering kena banjir rob. Tapi, pindah ke mana? Tanah makin sempit, biaya makin tinggi.

Bangunan terapung menawarkan alternatif baru: hidup tetap di tempat asal, tapi adaptif dengan kondisi air yang naik.

Pengalaman Kunjungan ke Proyek Mini di Kalimantan

Saya sempat ikut kunjungan komunitas arsitek ke Kalimantan Barat. Di sana, ada demo kecil rumah terapung yang dikembangkan oleh mahasiswa teknik sipil. Rumahnya dibangun di atas drum bekas, pakai struktur baja ringan, dan punya toilet kompos.

Waktu saya naik ke atas rumah itu, rasanya stabil lho. Nggak oleng, nggak bikin mual. Bahkan angin kencang pun nggak bikin panik karena sistem penambatnya kuat.

Tapi memang, proyek itu masih skala kecil. Tantangannya banyak: pembiayaan, izin, edukasi ke masyarakat. Tapi sebagai prototype, itu luar biasa. Saya jadi makin percaya bahwa solusi ini nggak sekadar teori.

Tantangan Teknis Bangunan Terapung

Nggak semua air tenang cocok buat dibangun rumah. Ada beberapa tantangan teknis yang penting banget:

  1. Gelombang dan Arus Air
    Harus dihitung secara detail. Struktur harus kuat dan lentur terhadap pergerakan air.

  2. Kualitas Air dan Korosi
    Air laut mengandung garam tinggi yang bisa merusak material. Jadi butuh bahan khusus yang tahan lama.

  3. Pondasi Alternatif
    Karena nggak bisa dipaku ke tanah, sistem penambat atau jangkar harus dirancang dengan teknik canggih.

  4. Perizinan dan Legalitas
    Ini sering jadi hambatan. Karena belum banyak peraturan yang mendukung pemanfaatan ruang air secara permanen.

Saya pernah diskusi dengan seorang arsitek muda yang bikin thesis soal ini, dan dia bilang: tantangan terbesarnya justru bukan teknis, tapi birokrasi. Kadang ide bagus mati di meja rapat.

Desain Arsitektur dan Estetika

Siapa bilang rumah terapung harus jelek? Saya pernah lihat desain dari arsitek Indonesia yang menggabungkan unsur lokal (atap limasan, material bambu) dengan teknologi modern.

Desain bangunan terapung harus memperhatikan:

  • Sirkulasi udara: karena berada di atas air, hawa lembap harus dikontrol

  • Akses masuk: tangga, jembatan kecil, atau dermaga mini

  • Pengolahan limbah: sistem ramah lingkungan yang nggak merusak ekosistem air

Kalau kamu pengin terinspirasi, cek proyek Floating School karya NLÉ Architects di Makoko, Nigeria. Sekolah ini jadi landmark arsitektur terapung yang mendunia karena desainnya unik dan efisien. Bahkan proyeknya diakui UN-Habitat sebagai model pembangunan adaptif.

Potensi Ekonomi dan Pariwisata

Salah satu contoh sukses bangunan terapung adalah resort di Raja Ampat yang dibangun di atas air. Waktu saya ke sana tahun lalu, saya sempat nginap di eco-resort kecil yang terapung di teluk tenang. Sensasinya beda—bangun pagi langsung lihat laut, nggak ada suara mobil, cuma burung dan deburan air.

Bayangin kalau model ini dikembangkan di lebih banyak tempat wisata air: Danau Toba, Kepulauan Seribu, atau Pulau Mandeh di Sumbar. Selain jadi solusi hunian, bangunan terapung bisa jadi daya tarik wisata baru. Tinggal pastikan semua dibangun secara berkelanjutan, nggak merusak alam.

Edukasi dan Penerimaan Masyarakat

Waktu saya ikut diskusi komunitas lingkungan di Semarang, ada ibu-ibu yang bilang, “Rumah mengapung itu serem, takut tenggelam.” Dan itu wajar. Masyarakat kita belum terbiasa dengan konsep ini.

Karena itu edukasi penting banget. Harus dijelaskan bahwa bangunan terapung nggak sama kayak perahu. Dia dirancang tetap di tempat, nggak goyang sembarangan, dan punya sistem keamanan yang diuji.

Bahkan, kalau dibangun dengan baik, risiko kebanjiran lebih rendah daripada rumah biasa. Karena saat air naik, rumah ikut naik. Adaptif. Saya suka nyebut ini: rumah yang “berenang” bersama bumi.

Bangunan Terapung di Dunia: Belanda, Jepang, Maladewa

Kamu bisa belajar banyak dari negara-negara yang udah lebih dulu mengembangkan teknologi ini:

  • Belanda: Negara dengan banyak kanal. Mereka udah punya kompleks perumahan terapung lengkap, seperti IJburg dan Schoonschip.

  • Jepang: Mengembangkan konsep Marine City dan struktur apung anti-gempa.

  • Maladewa: Sudah merancang proyek Oceanix City yang bakal jadi kota terapung pertama di dunia.

Kalau negara kecil seperti Maladewa saja bisa berpikir sejauh itu, kita seharusnya bisa lebih maju juga. Indonesia punya garis pantai lebih dari 90 ribu km, masa iya nggak dimanfaatkan?

Peran Pemerintah dan Kebijakan

Saya sempat cari tahu, ternyata di Indonesia sudah mulai ada pembahasan soal Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) yang membuka ruang untuk bangunan terapung. Tapi belum banyak yang terealisasi.

Kebijakan yang dibutuhkan antara lain:

  • Izin pemanfaatan ruang air

  • Regulasi teknis standar keamanan

  • Insentif untuk proyek hijau

  • Skema pembiayaan inklusif

Bayangkan kalau pemilik rumah di pesisir bisa ambil KPR untuk arsitektur rumah terapung. Atau UMKM nelayan bisa sewa kios apung buat jualan. Potensinya luas banget!

Inovasi Material dan Energi

Saya sempat hadir di seminar teknologi bangunan, dan ada satu panel menarik tentang material bangunan apung. Beberapa inovasi terbaru:

  • Biofoam beton ringan: tahan air dan kuat

  • Plastik daur ulang berstruktur sarang lebah

  • Solar panel terapung untuk sumber energi

  • Desalinator mini buat olah air laut jadi air minum

Artinya, bukan cuma bangunannya terapung, tapi energinya juga mandiri dan ramah lingkungan. Ini cocok banget untuk daerah terpencil atau tanpa jaringan PLN.

Apakah Bangunan Terapung Masa Depan Kita?

Saya rasa… bisa jadi. Apalagi kalau kita bicara 20–30 tahun ke depan. Krisis iklim itu nyata, dan cara kita tinggal harus berubah. Rumah di darat akan makin mahal, makin padat, dan makin rentan banjir.

Bangunan terapung bisa jadi solusi untuk:

  • Kota pesisir yang makin sering kena rob

  • Pulau kecil yang kekurangan lahan

  • Komunitas nelayan yang ingin hunian tetap

Dan bukan cuma rumah. Bayangin kalau sekolah, puskesmas, bahkan taman kota bisa terapung!

Kesimpulan: Waktunya Berpikir Adaptif

Bangunan terapung bukan lagi konsep futuristik. Ini solusi nyata untuk masalah nyata. Saya sendiri jadi lebih optimis melihat arah ini. Karena ini bukan soal “gaya hidup modern”, tapi cara bertahan hidup dengan cara yang cerdas dan berkelanjutan.

Dan kalau kamu pengin terlibat, kamu nggak harus jadi arsitek. Kamu bisa mulai dengan menyebarkan ide ini, mendukung inisiatif komunitas, atau sekadar terbuka terhadap kemungkinan tinggal “di atas air”.

Sudah mulai banyak pemanasan global nih, yuk bantu jaga bumi dengan: Sustainable Architecture: Masa Depan Bangunan Berkelanjutan

Author

By Fina